Sabtu, 26 Januari 2013

Resensi Buku Non Fiksi "HUKUM"



Judul                  : Biarkan Hukum Mengalir
Pengarang                   : Satjipto Raharjo
Penerbit              : PT Kompas Media Nusantara
Tempat/Thn.     : Jakarta/2008
Halaman            : x+158 hlm.

Buku yang ditulis oleh salah satu Guru Besar Universitas Diponegoro ini menjelaskan tentang cara berhukum, cara manusia berhukum, cara suatu bangsa berhukum, serta sesuatu yang belum lazim digunakan dalam tulisan mengenai hukum. Buku ini juga tidak berhenti mencurigai campur tangan manusia sebagai dinamisator hukum, baik dalam hal menciptakan dan menjalankan (Making of law), maupun mematahkan dan merobohkannya ( Breaking the law). Pembahasan yang dilakukan terhadap topik-topik dalam buku ini berangkat dari suatu filsafat tertentu, yang membiarkan hukum itu mengalir secara progresif.
Buku ini ditulis tidak disesuaikan menurut standar akademis yang ketat, seperti mencantumkan sumber buku atau artikel yang dikutip. Sehingga dalam buku ini tidak terdapat daftar pustaka, setelah penutup hanya dicantumkan indeks dan biodata penulis. Bentuk penyajian buku ini santai dan ringan, namun butuh kecermatan dalam memahami dari setiap kalimatnya. Selain itu dalam buku ini juga terdapat beberapa kata-kata yang diulang dan salah ketik. Namun, halaman depan buku ini cukup menarik yaitu dengan gambar jam yang didalamnya bertuliskan kata “Law” atau yang berarti Hukum. Bagi saya ini merupakan suatu bentuk penyimbolan bahwa ketika peradaban manusia terus berkembang maka hukum juga akan terus berkembang dan akan dikembangkan dari abad ke abad.
Buku ini ditujukan kepada para dosen, mahasiswa ilmu hukum, para pemerhati dan peneliti di bidang sosial politik, serta siapa saja yang peduli akan nilai keadilan dan kemanusiaan.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai isi buku ini, maka akan saya coba jelaskan secara garis besar mengenai pembahasan dalam setiap bab.
a.       Bab I berjudul “Pergulatan Manusia dan Hukumnya”.
Dalam bab ini dijelaskan mengenai hakikat dari hukum, masyarakat, dan kehidupan manusia. Penulis menyebutkan bahwa kehidupan dapat berjalan tanpa hukum. Namun demikian manusialah yang menentukan ia akan berhukum. Karena hukum merupakan buatan manusia, sehingga semua masalah yang kemudian timbul dalam diri manusia pada hakikatnya merupakan ciptaan manusia atau ulah manusia itu sendiri.
Salah satu kutipan dari bab ini adalah “Hukum tidak selalu benar, ia tidak memonopoli kebenaran, Hukum bisa salah” dari kalimat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakpatuhan manusia kepada hukum itu perlu didengar dan diterima sebagai suatu usaha untuk mengoreksi adanya sesuatu yang tidak benar dalam hukum.
b.      Bab II berjudul  “Jagat Ketertiban”
Dalam bab ini penulis lebih menekankan pada perbedaan dan membandingkan hukum dengan ketertiban. Bahwa ketertiban mencakup hukum, tetapi hukum bukan satu-satunya cara atau jalan untuk menciptakan ketertiban. Maka hukum atau hukum negara merupakan salah satu dari macam tatanan  untuk menuju ketertiban.
c.       Bab III berjudul “Dinamika Diluar Hukum Negara”
Dalam bab ini penulis mencoba melihat lebih dekat dinamika diluar hukum negara sebagai bentuk pembuktian terhadap luasnya jagat ketertiban yang telah dijelaskan di bab II.
d.      Bab IV berjudul “Hukum Nasional Sebagai Beban Untuk Komunitas Lokal”
Penulis mencoba menelaah lebih jauh mengenai tatanan sosial di Indonesia yang multikultural, dengan keadaan yang demikian inilah perlu dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional malah akan lebih menjadi beban dari pada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. Karena bagaimanapun hukum nasional itu tidak selalu dapat digabungkan dengan hukum lokal, khususnya pada masyarakat yang sederhana  atau biasa.
e.       Bab V berjudul “Cara Bangsa-bangsa Berhukum”
Penulis menjelaskan mengenai cara bangsa-bangsa berhukum. Yang mana cara bangsa berhukum itu tidak bisa dilepaskan dari akar-akar sosial dan kulturalnya, karena bagi penulis keduanya merupakan modal untuk memilih dan menjalankan cara-cara berhukum.
f.       Bab VI berjudul “Mempertanyakan Kembali Kepastian Hukum”
Dalam bab ini penulis lebih menyampaikan pada pendapatnya yang tidak bisa menerima jika kepastian hukum dijadikan sebagai ideologi dalam hukum, Kepastian hukum merupakan hasil dari hukum yang salah satunya berupa Undang-Undang. Bagi penulis hukum hanyalah salah satu komponen dari tatanan ketertiban.
g.      Bab VII berjudul “Hukum itu Manusia, Bukan mesin”
Penulis menguraikan mengenai perbedaan cara kerja manusia sebagai subjek yang menjalankan hukum dengan cara kerja mesin. Keduanya sangat berbeda, setiap perkara hukum selalu unik, oleh karena itu membutuhkan penyelesaian satu persatu. Keadaan ini sangat berbeda dengan kerja mesin yang bekerja menurut teknik dan standar. Mesin memang memiliki kemampuan istimewa, namun tidak semua urusan dapat diselesaikan dengan mesin, termasuk hukum. Karena hukum itu sarat akan peran yang dimainkan manusia,bagaimanapun manusialah yang membuat peraturan-peraturan itu.
h.      Bab VIII berjudul “ Watak Liberal Hukum Modern”
Pada bab ini penulis membandingkan hukum nasional dengan hukum yang diterapkan di negara lain seperti jepang. Bahwa membuat pilihan cara berhukum yang cocok dengan bentuk kehidupan sosial kita itu sangat pantas dilakukan. Sehingga menjadikan hukum negeri ini mengabdi dan melayani manusia dan bukan sebaliknya.
i.        Bab IX berjudul “Biasa dan Luar-Biasa Dalam Berhukum”
Penulis menggambarkan bahwa Hukum itu tidak selalu lurus-lurus saja atau biasa-biasa saja, melainkan berkelok-kelok berupa patahan-patahan dan mengakui akan kompleksitas, ketidakpastian, dan relativitas. Dari sinilah hukum akan bisa dinilai luar-biasa.
j.        Bab X berjudul “Hukum Progresif yang Membebaskan”
Inti dari hukum progresif yang dipaparkan oleh penulis sangat sederhana, bahwa hukum progresif adalah melakukan pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja dalam menuntaskan tugasnya yaitu mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Ketika kita membaca buku ini, mungkin akan terbesit fikiran mengapa dalam setiap akhir bab, penulis selalu menyampaikan “biarkan hukum itu mengalir dengan sendirinya”. Apabila dalam persepsi kita kata “mengalir” diumpamakan bahwa yang mengalir itu adalah air, maka kita akan berfikir bahwa air tersebut suatu ketika akan berakhir, seperti air yang dari sungai menuju ke muara. Padahal dalam kenyataannya hukum akan selalu mengalir jika masih ada kehidupan (manusia). Karena dalam buku telah disebutkan bahwa manusialah yang membuat hukum dan manusialah yang menjadi pelaku atas hukum tersebut. Namun semua pertanyaan tersebut akan terjawab apabila pembaca melihat paparan penulis dalam penutup, yaitu “hukum tidak akan berhenti mengalir selama manusia, masyarakat dan kehidupan bersama masih ada”.
Menurut saya hal diatas merupakan konsep yang cukup menarik dalam penyusunan sebuah buku. Yang mana pada setiap akhir bab penulis seakan memancing pertanyaan  kepada pembaca untuk mencari jawaban atas kemungkinan pertanyaan tersebut dan menaruh jawabannya dibagian penutup. Dengan ini maka pembaca akan membaca buku tersebut sampe tuntas, karena sesuai pengalaman ada pembaca yang enggan untuk membaca bagian penutup tersebut, karena semua jawaban yang ada difikirannya sudah terjawab dalam setiap bab.
Buku ini menggambarkan betapa berlikunya perjalanan hukum dalam mengemban fungsi untuk menata masyarakat , yang tidak lain adalah menata dan memasuki kehidupan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar