Judul : Biarkan Hukum Mengalir
Pengarang : Satjipto
Raharjo
Penerbit : PT Kompas Media
Nusantara
Tempat/Thn. : Jakarta/2008
Halaman : x+158 hlm.
Buku
yang ditulis oleh salah satu Guru Besar Universitas Diponegoro ini menjelaskan
tentang cara berhukum, cara manusia berhukum, cara suatu bangsa berhukum, serta
sesuatu yang belum lazim digunakan dalam tulisan mengenai hukum. Buku ini juga
tidak berhenti mencurigai campur tangan manusia sebagai dinamisator hukum, baik
dalam hal menciptakan dan menjalankan (Making of law), maupun mematahkan dan
merobohkannya ( Breaking the law). Pembahasan yang dilakukan terhadap
topik-topik dalam buku ini berangkat dari suatu filsafat tertentu, yang
membiarkan hukum itu mengalir secara progresif.
Buku
ini ditulis tidak disesuaikan menurut standar akademis yang ketat, seperti
mencantumkan sumber buku atau artikel yang dikutip. Sehingga dalam buku ini
tidak terdapat daftar pustaka, setelah penutup hanya dicantumkan indeks dan
biodata penulis. Bentuk penyajian buku ini santai dan ringan, namun butuh
kecermatan dalam memahami dari setiap kalimatnya. Selain itu dalam buku ini
juga terdapat beberapa kata-kata yang diulang dan salah ketik. Namun, halaman
depan buku ini cukup menarik yaitu dengan gambar jam yang didalamnya
bertuliskan kata “Law” atau yang berarti Hukum. Bagi saya ini merupakan suatu
bentuk penyimbolan bahwa ketika peradaban manusia terus berkembang maka hukum
juga akan terus berkembang dan akan dikembangkan dari abad ke abad.
Buku
ini ditujukan kepada para dosen, mahasiswa ilmu hukum, para pemerhati dan
peneliti di bidang sosial politik, serta siapa saja yang peduli akan nilai
keadilan dan kemanusiaan.
Untuk
memahami lebih lanjut mengenai isi buku ini, maka akan saya coba jelaskan
secara garis besar mengenai pembahasan dalam setiap bab.
a. Bab
I berjudul “Pergulatan Manusia dan Hukumnya”.
Dalam bab ini dijelaskan mengenai
hakikat dari hukum, masyarakat, dan kehidupan manusia. Penulis menyebutkan
bahwa kehidupan dapat berjalan tanpa hukum. Namun demikian manusialah yang
menentukan ia akan berhukum. Karena hukum merupakan buatan manusia, sehingga
semua masalah yang kemudian timbul dalam diri manusia pada hakikatnya merupakan
ciptaan manusia atau ulah manusia itu sendiri.
Salah satu kutipan dari bab ini adalah
“Hukum tidak selalu benar, ia tidak memonopoli kebenaran, Hukum bisa salah”
dari kalimat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakpatuhan manusia kepada
hukum itu perlu didengar dan diterima sebagai suatu usaha untuk mengoreksi
adanya sesuatu yang tidak benar dalam hukum.
b. Bab
II berjudul “Jagat Ketertiban”
Dalam bab ini penulis lebih
menekankan pada perbedaan dan membandingkan hukum dengan ketertiban. Bahwa
ketertiban mencakup hukum, tetapi hukum bukan satu-satunya cara atau jalan
untuk menciptakan ketertiban. Maka hukum atau hukum negara merupakan salah satu
dari macam tatanan untuk menuju
ketertiban.
c. Bab
III berjudul “Dinamika Diluar Hukum Negara”
Dalam bab ini penulis mencoba
melihat lebih dekat dinamika diluar hukum negara sebagai bentuk pembuktian
terhadap luasnya jagat ketertiban yang telah dijelaskan di bab II.
d. Bab
IV berjudul “Hukum Nasional Sebagai Beban Untuk Komunitas Lokal”
Penulis mencoba menelaah lebih jauh
mengenai tatanan sosial di Indonesia yang multikultural, dengan keadaan yang
demikian inilah perlu dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk
merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi banyak
komunitas lokal, hukum nasional malah akan lebih menjadi beban dari pada
menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. Karena bagaimanapun hukum nasional
itu tidak selalu dapat digabungkan dengan hukum lokal, khususnya pada
masyarakat yang sederhana atau biasa.
e. Bab
V berjudul “Cara Bangsa-bangsa Berhukum”
Penulis menjelaskan mengenai cara
bangsa-bangsa berhukum. Yang mana cara bangsa berhukum itu tidak bisa
dilepaskan dari akar-akar sosial dan kulturalnya, karena bagi penulis keduanya
merupakan modal untuk memilih dan menjalankan cara-cara berhukum.
f. Bab
VI berjudul “Mempertanyakan Kembali Kepastian Hukum”
Dalam bab ini penulis lebih
menyampaikan pada pendapatnya yang tidak bisa menerima jika kepastian hukum
dijadikan sebagai ideologi dalam hukum, Kepastian hukum merupakan hasil dari
hukum yang salah satunya berupa Undang-Undang. Bagi penulis hukum hanyalah
salah satu komponen dari tatanan ketertiban.
g. Bab
VII berjudul “Hukum itu Manusia, Bukan mesin”
Penulis menguraikan mengenai
perbedaan cara kerja manusia sebagai subjek yang menjalankan hukum dengan cara
kerja mesin. Keduanya sangat berbeda, setiap perkara hukum selalu unik, oleh
karena itu membutuhkan penyelesaian satu persatu. Keadaan ini sangat berbeda
dengan kerja mesin yang bekerja menurut teknik dan standar. Mesin memang
memiliki kemampuan istimewa, namun tidak semua urusan dapat diselesaikan dengan
mesin, termasuk hukum. Karena hukum itu sarat akan peran yang dimainkan
manusia,bagaimanapun manusialah yang membuat peraturan-peraturan itu.
h. Bab
VIII berjudul “ Watak Liberal Hukum Modern”
Pada bab ini penulis membandingkan
hukum nasional dengan hukum yang diterapkan di negara lain seperti jepang.
Bahwa membuat pilihan cara berhukum yang cocok dengan bentuk kehidupan sosial
kita itu sangat pantas dilakukan. Sehingga menjadikan hukum negeri ini mengabdi
dan melayani manusia dan bukan sebaliknya.
i.
Bab IX berjudul “Biasa dan Luar-Biasa
Dalam Berhukum”
Penulis menggambarkan bahwa Hukum
itu tidak selalu lurus-lurus saja atau biasa-biasa saja, melainkan
berkelok-kelok berupa patahan-patahan dan mengakui akan kompleksitas,
ketidakpastian, dan relativitas. Dari sinilah hukum akan bisa dinilai
luar-biasa.
j.
Bab X berjudul “Hukum Progresif yang
Membebaskan”
Inti dari hukum progresif yang
dipaparkan oleh penulis sangat sederhana, bahwa hukum progresif adalah
melakukan pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum,
sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja dalam menuntaskan tugasnya
yaitu mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.
Ketika kita membaca buku ini, mungkin
akan terbesit fikiran mengapa dalam setiap akhir bab, penulis selalu
menyampaikan “biarkan hukum itu mengalir dengan sendirinya”. Apabila dalam persepsi
kita kata “mengalir” diumpamakan bahwa yang mengalir itu adalah air, maka kita
akan berfikir bahwa air tersebut suatu ketika akan berakhir, seperti air yang
dari sungai menuju ke muara. Padahal dalam kenyataannya hukum akan selalu
mengalir jika masih ada kehidupan (manusia). Karena dalam buku telah disebutkan
bahwa manusialah yang membuat hukum dan manusialah yang menjadi pelaku atas
hukum tersebut. Namun semua pertanyaan tersebut akan terjawab apabila pembaca
melihat paparan penulis dalam penutup, yaitu “hukum tidak akan berhenti
mengalir selama manusia, masyarakat dan kehidupan bersama masih ada”.
Menurut saya hal diatas merupakan konsep
yang cukup menarik dalam penyusunan sebuah buku. Yang mana pada setiap akhir
bab penulis seakan memancing pertanyaan
kepada pembaca untuk mencari jawaban atas kemungkinan pertanyaan
tersebut dan menaruh jawabannya dibagian penutup. Dengan ini maka pembaca akan
membaca buku tersebut sampe tuntas, karena sesuai pengalaman ada pembaca yang
enggan untuk membaca bagian penutup tersebut, karena semua jawaban yang ada
difikirannya sudah terjawab dalam setiap bab.
Buku ini menggambarkan betapa berlikunya
perjalanan hukum dalam mengemban fungsi untuk menata masyarakat , yang tidak
lain adalah menata dan memasuki kehidupan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar